Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Salman
al-Farisiradhiyallahu ‘anhu:
لَوْ كَانَ الْإِيمَانُ عِنْدَ الثُّرَيَّا، لَنَالَهُ
رِجَالٌ مِنْ هَؤُلَاءِ
“Seandainya keimanan itu berada
(jauh) di bintang Tsurayya, niscaya orang-orang dari mereka ini telah
meraihnya.” Muttafaq ‘alaih
Banyak hati yang tergerak untuk mencari
kebenaran. Tak sedikit orang yang mengayunkan langkah, menelusuri jalan panjang
demi sebuah hidayah. Namun, kerap kali mereka goyah didera badai ujian,
sementara tak jarang jemari melemah melepas hidayah yang sempat digenggam.
Inilah Salman al-Farisi radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang mulia. Kegigihannya dalam mencari kebenaran
adalah teladan. Kekokohannya menggenggam hidayah adalah bukti kebenaran
iman.
Dari mana Asal
Beliau radhiyallahu
‘anhu?
Salman adalah salah seorang penduduk Persia
(dalam bahasa Arab, Faris), karena itulah beliau disebut dengan al-Farisi. Dari
sanalah beliau berasal, tepatnya di sebuah desa bernama Jayy, bagian dari kota
Asbahan (kota Isfahan, Iran). Ketika itu, beliau dikenal dengan nama aslinya,
Ruziyah. Setelah memeluk Islam beliau bergelar Abu Abdillah, masyhur dengan
julukan Salman al-Khair atau Salman bin al-Islam.
Ayah beliau adalah seorang pembesar di desanya.
Kecintaan yang sangat kepada Salman membuat sang ayah menahan puteranya di dalam
rumah layaknya gadis pingitan. Salman menjalani hari-harinya sebagai penjaga
api, sesembahan pemeluk agama Majusi.
Awal Mula Meninggalkan Agama
Majusi
Ayah Salman memiliki sebuah ladang yang amat
luas. Suatu ketika, dia tersibukkan oleh bangunan miliknya dan menyuruh Salman
pergi ke ladang. Di tengah perjalanan, Salman melewati sebuah gereja Nasrani.
Salman kemudian masuk dan mendapati orang-orang Nasrani yang sedang beribadah.
Rasa kagum meliputi hati Salman. Dari mereka, Salman mengetahui bahwa agama
Nasrani itu berasal dari Syam (Palestina dan sekitarnya).
Salman mengisahkan peristiwa itu dan
mengungkapkan kekagumannya kepada ayahnya. Kekhawatiran menghinggapi diri sang
ayah. Karenanya, ayah Salman kemudian membelenggu kedua kaki Salman dan
menahannya di rumah.
Inilah Salman. Sesuatu telah berkecamuk di dalam
hatinya. Saatnya mencari kebenaran yang selama ini terhalang dari dirinya.
Meskipun rintangan pertama justru datang dari ayahnya sendiri.
Hari-hari telah berlalu, tersiar kabar kedatangan
rombongan pedagang dari Syam. Kesempatan yang dinanti-nanti. Ketika urusan
mereka telah selesai dan hendak pulang ke Syam, Salman melepaskan belenggu dari
kedua kakinya dan berangkat bersama mereka ke Syam.
Salman dan Agama Nasrani
Sesampainya di Syam, Salman segera mencari tahu
tentang orang yang paling utama di antara pengikut agama Nasrani. Bertemulah
Salman dengan seorang uskup yang ada di gereja. Salman tinggal bersama uskup
tersebut dan melayaninya di dalam gereja. Ternyata, uskup itu seorang yang jelek
perangainya. Dia memerintahkan orang-orang agar bersedekah, namun harta sedekah
tersebut disimpannya untuk dirinya sendiri.
Tak lama, uskup itu pun mati. Salman
memberitahukan perbuatan uskup tersebut kepada orang-orang Nasrani dan
menunjukkan kepada mereka simpanannya berupa tujuh tempayan yang penuh dengan
emas dan perak. Mereka pun menyalib uskup tersebut dan tidak menguburkannya.
Kemudian mereka menjadikan orang lain sebagai
pengganti. Dia adalah seorang yang tekun beribadah dan zuhud terhadap dunia.
Salman sangat mencintainya lebih dari siapapun sebelumnya. Salman tinggal
bersamanya hingga tiba saatnya uskup yang baik tersebut didatangi tanda-tanda
kematian.
Inilah Salman. Salman mendatanginya dan meminta
wasiat untuk dirinya, kepada siapa ia harus pergi. Dia pun berpesan, “Wahai
anakku, demi Allah, aku tidak mendapati seorang pun yang berada di atas agama
yang aku peluk. Orang-orang telah binasa. Mereka telah mengubah agama Nasrani
dan meninggalkan kebanyakan agama mereka, kecuali seseorang di Maushil (kota
Mosul, Irak). Dia adalah Fulan, ia berada di atas agama yang aku peluk, maka
temuilah dia!”
Sepeninggalnya, Salman menemui orang yang
disebutkan. Salman tinggal bersamanya dan mendapatinya sebagai sebaik-baik orang
di atas agama temannya. Sampai ketika tanda-tanda kematian mendatanginya, Salman
kembali meminta wasiat untuk dirinya. Senada dengan ucapan temannya yang
terdahulu, lelaki baik ini mewasiatkan kepada Salman untuk menemui seorang
lelaki di Nashibin (kota Nusaybin, Turki).
Singkat cerita, Salman mengalami kisah
sebagaimana masa-masa di Maushil. Sampai dia mendapatkan petunjuk untuk menemui
seorang di ‘Ammuriyyah (kota Amorium, Turki) yang berada di atas agama Nasrani.
Salman pun menemui lelaki tersebut dan tinggal bersamanya. Di sana Salman
bekerja sampai mempunyai banyak sapi dan kambing.
Sebagaimana sebelumnya, menjelang kematiannya,
lelaki itu pun berpesan, “Wahai anakku, aku tidak mengetahui ada seorang pun
yang berada di atas agama kami yang aku memerintahkanmu untuk mendatanginya.
Tetapi telah dekat masa pengutusan seorang nabi. Dia diutus dengan agama Nabi
Ibrahim yang muncul dari jazirah Arab, kemudian hijrah ke sebuah negeri di
antara dua tanah yang berbatu hitam, di antaranya ada pohon-pohon kurma (kota
Madinah).”
Lelaki itu lalu melanjutkan, “Pada orang itu ada
tanda-tanda yang tidak tersembunyi, dia memakan hadiah dan tidak memakan
sedekah. Di antara kedua pundaknya ada tanda kenabian. Jika engkau mampu untuk
mendatangi negeri tersebut, maka lakukanlah!” Tak lama, lelaki itu pun
meninggal.
Masuk Islamnya Salman
Suatu hari di ‘Ammuriyyah, lewat sekumpulan
pedagang dari suku Kalb. Salman meminta mereka untuk membawanya ke jazirah Arab
dengan membayarkan sapi-sapi dan kambing-kambing miliknya. Mereka pun setuju.
Namun sesampainya di Wadil Qura, mereka justru menjual Salman kepada seorang
Yahudi sebagai budak. Tinggallah Salman bersama Yahudi tersebut.
Allah Maha mengetahui kesungguhan hati Salman.
Suatu ketika, anak paman si Yahudi datang dan membeli Salman darinya. Kemudian
dia membawa Salman ke Madinah. Salman bisa mengetahuinya dengan ciri-ciri yang
disebutkan sahabatnya. Sejak saat itu, Salman tinggal di Madinah.
Sementara itu, tiba masanya Allah mengutus
Rasul-Nya. Salman tak mengetahui hal ini sampai ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Pada suatu
hari, Salman berada di atas pohon kurma, sementara tuannya sedang duduk.
Datanglah anak paman tuannya menceritakan tentang datangnya seorang dari Mekkah
di Quba. Orang-orang mengira bahwa dia seorang nabi. Mendengar cerita tersebut
Salman gemetar karenanya. Dia berusaha bertanya, namun justru membuat marah
tuannya hingga meninjunya dengan keras.
Tak putus harapan, Salman berusaha mencari tahu
tentang jati diri orang yang dikira nabi tersebut. Berbekal ciri-ciri yang dia
ketahui dari sahabatnya, Salman beberapa kali mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kali pertama, Salman mendatangi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sesuatu sebagai
sedekah. Ternyata beliau menyuruh para sahabat memakannya, sementara beliau
sendiri menahan diri darinya. Satu bukti bagi Salman.
Kedatangan kedua, Salman kembali membawa sesuatu.
Kali ini dia menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memakannya dan
memerintahkan para sahabat untuk makan. Inilah bukti yang kedua bagi Salman.
Ketiga kalinya, Salman mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang
mengiringi jenazah seorang sahabat di pekuburan Baqi’. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenakan dua pakaian sejenis jubah. Salman mengucapkan
salam, kemudian berkeliling untuk mencari cap kenabian di bagian punggung
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyadari hal ini, lalu melepaskan selendang dari punggung beliau.
Salman pun bisa melihat tanda kenabian itu.
Inilah Salman. Seketika itu dia tertelungkup di
hadapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,lalu mencium beliau, dan
menangis. Salman akhirnya masuk Islam. Kesungguhannya dalam mencari kebenaran,
mengantarkannya kepada hidayah yang selama ini dia cari.
Kehidupannya dalam Islam
Hari-hari setelahnya, Salman masih tersibukkan
dalam perbudakan, sehingga tidak mengikuti perang Badar dan Uhud. Dengan bantuan
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Salman berhasil
membebaskan diri dari perbudakan. Sejak saat itu, Salman tak pernah terluput
dari mengikuti peperangan bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam,serta peperangan di masa Khulafa’ Rasyidin.
Pada peristiwa perang Khandaq tahun 5 H, Salman
menyumbangkan ide yang cemerlang berupa pembuatan parit besar sebagai strategi
pertahanan kaum muslimin. Dengan cara inilah kota Madinah selamat dari upaya
penyerangan pasukan gabungan musyrikin Quraisy dan Yahudi saat itu.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mempersaudarakan antara Abu Darda’ dengan Salman
al-Farisi radhiyallahu ‘anhu. Mereka menjalani kehidupan di dunia ini
dengan kecintaan karena Allah. Hingga mereka berdua terpisahkan karena menjalani
tugas masing-masing.
Abu Darda’ menjadi seorang Qadhi (hakim) di
Damaskus. Adapun Salman, beliau menjadi gubernur di Madain, Irak. Suatu hari,
Abu Darda’ mengirim surat untuk Salman, yang isinya, “Marilah menuju bumi yang
suci (Syam)”. Maka Salman membalas surat tersebut, “Sesungguhnya bumi itu tidak
bisa menyucikan diri seseorang. Hanyalah amalan yang bisa menyucikan seorang
hamba.”
Akhir Kehidupannya
Sebagian ulama menyebutkan adanya ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa umur beliau mencapai 250 tahun, adapun yang
menyebutkan lebih dari itu telah terjadi silang pendapat (lihat Al Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, Al Bidayah Wan Nihayah).
Setelah melalui perjalanan panjangnya, beliau
wafat dan dimakamkan di Madain, Irak pada tahun 36 H. Beliau telah meninggalkan
banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu'alam bishawab